KETIKA ROTAN TAK LAGI 'MENCAMBUK' POTENSI EKONOMI
11 Januari 2015 14:11:00 WIB
WE Online, Makassar - Masa keemasan
komoditas rotan di Sulawesi tercatat pada era 1980 - 2010, karena kala itu
Indonesia masih memasok 85 persen rotan dunia, dan diduga memiliki potensi
sekitar 70 persen lahan dunia.
Dari persentase potensi lahan rotan
nasional, data Kementerian Kehutanan dan Sucofindo melansir "Annual
Allowable Cut" (potensi tebang lestari) nasional sebanyak 210 ribu ton dan
sekitar 125 ribu ton di antaranya menjadi potensi tebang lestari di wilayah Sulawesi.
Ketika itu, petani dan pengelola rotan
di Sulawesi patut berbangga, karena di wilayah Sulawesi terdapat 25 jenis
rotannya yang tumbuh di kawasan hutan. Hal ini mengungguli daerah lainnya yang
juga mengembangkan rotan yakni di Jawa dan Sumatera.
Hanya saja, masa keemasan itu tidak
bertahan lama. Munculnya kebijakan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag)
Nomor 35/M-DAG/PER/11/2011 tentang Larangan Ekspor Rotan, ibarat petir di siang
hari bagi petani di hulu dan pengusaha industri rotan di hilir.
"Jelang empat tahun kebijakan itu diterbitkan, hingga saat ini belum ada
realisasi dari kompensasi yang disebutkan dalam Permendag tersebut," kata
Sekretaris Asmindo Sulsel HA Mansyur AS di Makassar.
Dia mengatakan, janji pemerintah sebagai
kompensasi dari Permendag itu sebagai dampak dari larangan ekspor rotan yakni
program "comfort school with rotan" dengan penggunaan furnitur rotan
di sekolah. Tetapi itu tidak berjalan, kalau pun ada hanya satu dua sekolah
saja yang merupakan bagian dari program "Corporate Social Responsibility"
dari BUMN atau BUMD.
Selain itu, juga dijanjikan bentuk badan
penyanggah melalui sistem resi gudang yang diatur dalam Permendag Nomor
37/M-DAG/PER/11/2011. Namun hingga saat ini tidak pernah terlaksana.
"Semua kompensasi itu belum
diwujudkan, termasuk mendorong investor membangun industri furnitur di
daerah," katanya.
Menurut dia, untuk pasar domestik juga
terbatas, karena pemakaian perabot berbahan baku rotan belum memasyarakat,
karena kurangnya sosialisasi. Sementara itu, konsumen kini cenderung
menggunakan perabot plastik.
Belum lagi, janji pemerintah sebagai
kompensasi larangan ekspor rotan adalah melakukan transmigrasi perajin. Artinya
perajin rotan di Sulawesi akan dibelajarkan pada pelaku industrI di Pulau Jawa
yang lebih awal berkembang. Namun kenyataannya, konsep itu tidak pernah
dilaksanakan.
Begitu pula dengan evaluasi secara
berkala terhadap Permendag No 35/2011 yang telah dijanjikan, dalam tiga tahun
berlakunya kebijakan itu, tidak ada evaluasi secara akademik terhadap dampaknya
dari hulu dan hilir.
"Dampak dari kebijakan pemerintah
dan upaya kompensasi dari pelarangan ekspor rotan itu, menyebabkan empat
industri rotan di Makassar tiga di antaranya gulung tikar dan satu pindah ke
Surabaya," kata Mansyur.
Sedang secara umum kondisi di Sulawesi
sebelum penerbitan Permendag tentang larangan ekspor rotan itu, masih terdapat
42 unit pelaku industri setengah jadi yang mengelola komoditi rotan. Namun
pasca kebijakan itu diedarkan pada 2011, jumlah industri pengelola rotan setengah
jadi hanya tersisa 16 unit.
Hal itu diakui pengusaha rotan H Sanif
Aco yang memiliki dua lokasi pengelolaan rotan yakni masing-masing satu unit di
wilayah Sulsel dan Sulbar.
"Pengusaha industri meubel rotan
kini sudah banyak yang gulung tikar. Kalaupun ada yang masih bertahan itu
ibarat mati segan hidup pun tak mau," katanya.
Sebagai gambaran, katanya, pada masa
kejayaan rotan di Sulawesi, industri meubel rotan miliknya memiliki sekitar 150
orang pekerja setiap hari. Namun setelah kebijakan itu terbit, maka kini sisa
mempekerjakan 30 orang, itu pun hanya tiga hari kerja dalam sepekan.
Sementara kondisi di hulu, data empiris
pra-Permendag 33 / 2011, di Sulawesi terdapat petani atau pengepul sebanyak
54.430 orang, namun pascakebijakan itu diterbitkan jumlah petani atau pengepul
hanya 22.500 orang saja.
Selain berdampak ke sektor tenaga kerja,
dari sisi produksi rata-rata per tahun sebelum kebijakan Kemendag tercatat
53.900 ton dan ekspor rata-rata (2005 - 2011) mencapai 19.000 ton atau senilai 19
juta dolar Amerika Serikat. (Ant/Suriani Mappong)
Editor: Jafei
Foto: Sufri Yuliardi
"Jelang empat tahun kebijakan itu diterbitkan, hingga saat ini belum ada realisasi dari kompensasi yang disebutkan dalam Permendag tersebut," kata Sekretaris Asmindo Sulsel HA Mansyur AS di Makassar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar